Sabtu, 30 Mei 2020
Pelaksanaan Perlindungan Hutan
Macam-macam Perlindungan Hutan
Ketentuan tentang perlindungan hutan semula diatur dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, kemudian diubah dengan pasal 46-51 UU Nomor 41 Tahun 1999 ditentukan empat macam perlindungan, yaitu perlindungan atas :
1. Hutan
2. Kawasan hutan
3. Hasil hutan. dan
4. Investasi
Berikut penjelasannya.
1. Hutan
Selain itu didalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan ditentukan empat macam perlindungan hutan, yaitu : "Perlindungan Kawasan Hutan, Hutan Cadangan. dan Hutan Lainnya." (Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985). Adalah suatu usaha untuk menjaga dan melindungi kawasan hutan dan hutan cadangan yang telah ditentukan peruntukannya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
Semua hutan yang telah ditentukan peruntukannya itu harus dipasang pal-pal batas yang terbuat dari beton dengan ukuran 10x10x10 cm atau kelas kayu awet II dengan ukuran 15x15x130 cm. tujuannya untuk pemberitahuan kepada masyarakat bahwa hutan itu telah ditentukan sebagai kawasan hutan atau hutan cadangan. dengan demikian, semua masyarakat dilarang untuk memotong, memindahkan, merusak, menghilangkan, menduduki dan mengerjakan kawasan hutan. tetapi apabila ada masyarakat yang melanggar dari larangan tersebut maka akan dijatuhkan sanksi pidana selama 10 tahun atau denda sebanyak-sebanyaknya Rp 100.000.000,00 (pasal 18 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985).
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada para pelaku bersifat alternatif. Artinya, bahwa pelaku hanya dapat dikenakan satu macam sanksi, yaitu antara sanksi pidana penjara atau denda. Apabila pelaku dijatuhi hukuman penjara, maka tidak perlu lagi membayar denda. Hal ini disebabkan di dalam ketentuannya diselengi dengan kata “atau”, bukan kata “Dan atau Atau”.
Perlindungan terhadap hutan lainnya dilakukan oleh pemilik itu sendiri. Namun pemilik tidak menutup kemungkinan untuk melaporkan dan mengadukan tentang kejadian yang berkaitan dengan pelanggaran hutan lainnya.
2. Kawasan Hutan
Perlindungan Tanah Hutan (Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985). Adalah suatu usaha untuk menjaga dan mempertahankan tanah disekitar kawasan hutan, hutan cadangan, maupun hutan lainnya. kegiatan yang dapat merusak tanah adalah :
a. eksplorasi dan eksploitasi
b. pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan tanah/tegakan
c. penebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai dan anak sungai yang terletak didalam kawasan hutan, hutan cadangan, dan hutan lainnya.
Yang dimaksud dengan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengambil bahan galian, yang berupa pasir, tanah, batu-batuan, dan lain-lain. sehingga setiap orang atau badan hukum yang akan melakukan kegiatan tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan
Tujuan adanya izin tersebut adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan tanah di sekitar kawasan hutan, hutan cadangan maupun hutan lainnya. apabila tanah disekitar itu rusak, hutan akan kehilangan fungsinya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967. dengan demikian, tanah disekitar kawasan hutan, hutan cadangan, maupun hutan lainnya perlu dijaga dan dicegah dari kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah, dan penebangan pohon yang terlalu dekat dari mata air, jurang, waduk, sungai, dan anak sungai.
3. Hasil Hutan
Perlindungan terhadap Kerusakan Hutan (Pasal 9 -12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985). Merupakan usaha untuk menjaga dan melindungi hutan dari kerusakan yang disebabkan karena perbuatan manusia, ternak, daya alam, hama, dan penyakit. Tindakan-tindakan yang dapat merusak hutan, seperti : menggunakan mesin tanpa izin dari pejabat yang berwenang, melakukan penebangan pohon tanpa izin pejabat yang berwenang, membakar hutan, menggembalakan ternak dalam hutan, dan mengambil rumput dalam hutan.
Dari kelima tindakan tersebut, yang dikemukakan disini adalah kebakaran hutan. Kebakaran tehadap hutan mengakibatkan kerugian/kerusakan yang sangat berarti, tidak saja bagi masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan, tetapi juga menimbulkan kerugian bagi negara.
Menurut Statistik Kehutanan tahun1968 bahwa pada tahun 1967 telah terjadi kebakaran hutan di Jawa Timur dan 13.303 ha terjadi di Jawa Tengah. Pengaruh negatif kebakaran hutan adalah rusaknya kawasan hutan, seperti :
- Matinya biji dan tanaman muda (termasuk permudaan)
- Matinya pohon/batang dalam bentuk cacat-cacat kecil pada kulit sampai terbakarnya seluruh pohon. Kematian pohon biasanya karena kematian kambium, yaitu jaringan antara kulit dan kayu
- Mengurangi nilai estetika hutan
- Rusaknya habitat binatang liar dan rumput-rumput untuk penggembalaan
- Hilangnya fungsi perlindungan hutan karena terbakarnya tajuk. Akibatnya erosi akan lebih mudah terjadi karena air hujan tidak tertahan.
- Musnahnya rumah-rumah dan ancaman terhadap jiwa manusia sekitar kawasan hutan.
Hal-hal yang memudahkan terjadinya kebakaran hutan: (1) daun-daun kering atau serasah diatas tanah hutan (misalnya hutan jati), (2) tumbuhan liar (weeding) seperti rerumputan, alang-alang, gelagah dan semak-semak, (3) tanaman muda, (4) tanah yang mudah terbakar (tanah gambut), (5) topografi, (6) tipe hutan. Ini berkaitan dengan jenis hutan. Pada hutan-hutan tropika basah seperti pegunungan di Jawa Barat dan Sumatera jarang terjadi kebakaran hutan. Berlainan halnya dengan hutan musim di Jawa Barat bagian utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara yang memiliki musim kering dan musim ini memudahkan terjadinya kebakaran hutan, dan (7) tinggi dari permukaan laut. Semakn tinggi hutan dari permukaan laut semakin dingin dan basah, maka bahaya kebakaran hutan makin berkurang.
Yang menjadi sumber kebakaran hutan : (1) petir, (2) titik api dari lokomotif, dan (3) perbuatan manusia yang sengaja dan tidak sengaja. Yang disengaja seperti sabotase, sedangkan yang tidak disengaja seperti pembakaran alang-alang, pembakaran ham untuk kepentingan pertanian, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi kebakaran hutan perlu dilakukan upaya-upaya :
- menghindarkan tumbuh-tumbuhan liar dengan mempertahankan penutupan tajuk (menanam tanaman anatara)
- memangkas tumbuh-tumbuhan yang mudah terbakar pada musim kemarau
- membuat jalur-jalur penahan api sekeliling pinggiran jalan
- memberikan penyuluhan kepada masyarakat disekitar hutan
- mengadakan pengawasan (perondaan dan komunikasi yang cepat)
Sebab dan Akibat Kerusakan Hutan
Sebab :
1. Bertambahnya penduduk yang sangat pesat
2. Berkurangnya tanah pertanian, disertai keadaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan
3. Perladangan berpindah-pindah
4. Sempitnya lapangan pekerjaan
5. Kurangnya kesadaran masyarakat arti pentingnya fungsi hutan dan lain-lain.
Akibat :
1. Kerusakan hutan akibat pengerjaan atau pendudukan tanah hutan secara tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusahaan hutan yang tidak bertanggung jawab.
2.Kerusakan hutan akibat pengambilan batu, tanah dan bahan galian lainnya, serta penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah atau tegakan.
3. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan penebangan tanpa izin.
4.Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan akibat kebakaran.
5. Kerusakan hasil hutan akibat perbuatan manusia, gangguan hama dan penyakit, serta daya alam.
Pengertian dan Tujuan Perlindungan Hutan
Pengertian :
Menurut Peraturan Pemerintah UU No.45 Tahun 2004 Pasal 1 Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil-hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Tujuan :
Menurut Peraturan Pemerintah UU Pasal 46 UU Nomor 41 Tahun 1999 :
Menjaga kelestarian dan fungsi hutan
Menjaga mutu, nilai, dan kegunaan hasil hutan
SIFAT PENYERAHAN PENGGUNAAN FUNGSI HUTAN
.
Sifat Penyerahan Penggunaan Fungsi Hutan
Ada dua sifat penyerahan penggunaan kawasan hutan kepada pihak lainnya, yaitu: (1) tetap, (2) sementara (tidak tetap) {Rahajaan, 1992:8}.
Penyerahan penggunaan kawasan hutan bersifat tetap adalah kawasan hutan tersebut akan berubah status yuridisnya dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Penyerahan kawasan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk: [1] Tukar menukar [ruilslag],
[2] Pelepasan untuk budidaya pertanian,
[3] Pelepasan untuk lokasi transmigrasi, dan
[4] Pelepasan lainnya.
Konsekuensi logis penyerahan ini adalah kawasan hutan yang diserahkan itu terlepas kesatuannya dengan kawasan hutan lainnya, dan kawasan itu dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang menerima penyerahan tersebut.
Yang dimaksud dengan penyerahan bersifat sementara adalah Kawasan hutan yang diserahkan tersebut status yuridisnya masih tetap sebagai kawasan hutan. Penyerahan ini dapat dilakukan dalam bentuk : [1] pinjam pakai, [2] pinjam pakai dengan kompensasi , dan [3] pinjam pakai dengan ganti rugi letak bangunan.
Tukar - menukar
Dasar Hukum, pengertian, dan tujuan tukar-menukar kawasan hutan
Secara umum tukar-menukar diatur dalam pasal 1541 kitab undang-undang hukum perdata. Sedangkan tukar-menukar kawasan diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 178/Kpts/UM/4/1975 Tentang Pedoman Umum Perubahan Kawasan Hutan. kemudian ketentuan ini diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 164/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Tukar-menukar Kawasan Hutan.
Menurut pasal 1541 kitab undang-undang hukum perdata yang diartikan tukar-menukar adalah “persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain.”
Ada tiga unsur yang harus ada perjanjian tukar-menukar pada umumnya, yaitu [1] adanya subjek hukum [kreditor dan debitor] , [2] objek tukar-menukar, [3] objeknya sama besarnya, beratnya maupun luasnya.
Yang diartikan dengan tukar-menukar kawasan hutan menurut pasal 1 ayat 2 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 164/Kpts-II/1994 adalah “suatu kegiatan melepaskan kawasan hutan tetap untuk kepentingan pembangunan diluar sektor kehutanan yang di imbangi dengan memasukkan tanah pengganti menjadi kawasan hutan dan kegiatan pelepasan kawasan hutan tetap tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara realokasi fungsi hutan produksi konversi menjadi hutan produksi tetap’’ Ada empat unsur tukar-menukar kawasan hutan , yaitu
a. Kegiatan melepaskan kawasan hutan;
b. Untuk kepentingan pembangunan diluar sektor kehutanan;
c. Memasukkan tanah pengganti menjadi kawasan hutan;
d. Tidak dapat dilakukan dengan realokasi fungsi hutan produksi konversi menjadi
hutan produksi tetap.
Yang termasuk dalam kategori pembangunan di luar sektor kehutanan adalah
Pembangunan proyek-proyek untuk kepentingan uum terbatas oleh instansi pemerintah;
Pembangunan proyek strategis;
Menghilangkan enclove dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan;
Menyelesaikan pendudukan tanah kawasan hutan tanpa izin menteri kehutanan (okupasi);
Memperbaiki batas kawasan hutan.
Besarnya rasio tukar-menukar kawasan hutan ditetapkan sebagai berikut
Untuk pembangunan kepentingan umum terbatas oleh Pemerintah adalah 1:1
Untuk pembangunan proyek strategis yang berdampak bagi kemajuan perekonomian nasional dan kesejahteraan umum diprioritaskan oleh Pemerintah adalah 1:2
Untuk keperluan kegiatan yang bersifat komersial yang dilakukan oleh perusahaan swasta, selain pada angka 2, adalah 1:3.
Untuk penyelesaian sengketa berupa pendudukan kawasan hutan (okupasi) atau enclove adalah 1:1.
Tujuan tukar-menukar kawasan hutan adalah untuk menampung kepentingan pembangunan yang bersifat strategis dan atau menyangkut kepentingan umum yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan, tanpa mengurangi luasnya hutan itu sendiri.
Yang dimaksud kepentingan terbatas adalah kepentingan untuk seluruh masyarakat yang pelaksanaan kegiatan pembangunannya dilakukan dan dimilki oleh instansi pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Prosedur dan syarat-syarat tukar-menukar kawasan hutan
Permohonan tukar-menukar kawasan hutan diajukan oleh pemohon kepada Menteri Kehutanan melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi setempat dan Direktur Utama Perum Perhutani , dengan dilengkapi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Letak, luas dan batas lahan penggantinya jelas;
2. Letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan;
3. Terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama;
4. Dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional;
5. Tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan;
6. Rekomendasi Gubernur dan bupati/walikota.
Berdasarkan permohonan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi atau Direktur Utama Perum Perhutani meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri Kehutanan, dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, dan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan sepanjang menyangkut kawasan hutan produksi yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Penyelesaian Permohonan dan kewajiban Pemohon
Berdasarkan permohonan dan persyaratan di atas, sekretaris Jenderal mengkoordinasikan sran/pertimbangan. teknis dari eselon 1 terkait lingkup Departemen Kehutanan. Dari berbagai saran/pertimbangan tersebut. Sekretaris Jenderal menyampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk memperoleh keputusan lebih lanjut.
Apabila saran/ pertimbangan tersebut belum memadai dan masih memerlukan data lapangan dapat dibentuk Tim Departemen Kehutanan, yang terdiri dari unsur Eselon 1 terkait, Instansi Kehutanan di daerah, dan instansi lain yang dipandang perlu.
Tim Departemen Kehutanan ini bertugas untuk melakukan peninjauan dan pengkajian lapangan terhadap objek tukar Kawasan hutan. Kemudian Tim ini menyampaikan hasil peninjauan dan pengkajiannya kepada Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.
Hasil peninjauan dan pengkajian lapangan disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Menteri Kehutanan. berdasarkan saran/pertimbanga/hasil laporan Tim Departemen Kehutanan tersebut, Menteri Kehutanan memberikan keputusan. Keputusan itu berisi dua hal, yaitu menyetujui atau menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon.
Apabila permohonan itu disetujui oleh Menteri Kehutanan, maka ada enam kewajiban yang harus dilakukan oleh pemohon, yaitu:
a. Menyediakan dan menyerahkan lahan pengganti;
b. Membayar ganti rugi nilai tegakan dan Iuran Hasil Hutan;
c. Membayar ganti rugi terhadap sarana dan prasarana yang ada dalam kawasan hutan
yang dimohon;
d. Membayar biaya penataan batas;
e. Membuat dan menandatangani perjanjian tukar-menukar ata Berita Acara tukar-
menukar;
f. Mengusahakan penghapusan hak pihak ketiga atas tanah pengganti pada buku tanah
pada instansi yang berwenang.
Penandatanganan Perjanjian Tukar-menukar dan Berita Acara Tukar-menukar
Apabila semua persyaratan dan kewajiban itu telah dipenuhi oleh pemohon , maka tahap selanjutnya adalah penandatanganan perjanjian Tukar-Menukar dan Berita Acara Tukar-menukar.
Perjanjian Tukar-menukar atau Berita Acara Tukar-menukar kawasan hutan dibuat dan ditandatangani oleh pemohon bersama Menteri Kehutanan dalam hal yang bersifat strategis dan komersial atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat untuk kepentingan lainnya.
Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Budidaya Pertanian
Dasar Hukum dan Tujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Budi Daya Pertanian
Pelepasan Kawasan untuk pengembangan usaha pertanian pada mulanya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 145/Kpts-II/1986 tertanggal 5 Mei 1986. Kemudian ketentuan itu dicabut berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Yang diartikan dengan pelepasan kawasan hutan dalam Keputusan bersama tersebut adalah pengubahan status kawasan hutan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara untuk keperluan usaha pertanian (pasal 1 huruf a).
Tujuan pelepasan kawasan hutan untuk keperluan pertanian: [1] pemanfaatan kawasan hutan yang tidak produktif, [2] kawasan hutan itu belum ditetapkan sebagai kawasan hutan atau hutan cadangan, dan [3] kawasan itu layak dan cocok untuk pengembangan usaha pertanian. Pelepasan kawasan hutan untuk keperluan pengembangan usaha pertanian diharapkan dapat meningkatkan dan menampung tenaga kerja.
Kawasan Hutan yang Dapat Dilepas untuk Pengembangan Usaha Pertanian
Pada dasarnya tidak semua kawasan hutan dapat dilepaskan untuk usaha pertanian. Namun, kawasan yang dapat dilepaskan untuk keperluan pertanian adalah: (1) Kawasan hutan yang berdasarkan kemampaun tanahnya cocok untuk usaha pertanian, dan (2) Menurut tata guna tanah hutan tersebut tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau kawasan untuk keperluan lainnya.
Kawasan hutan yang cocok untuk usaha pertanian adalah: (1) Areal tanah kosong, (2) Padang alang-alang, (3) Semak, (4) Berlukar, (5) Kawasan hutan yang sebagian tegakan tidak mempunyai nilai ekonomis.
Tata Cara dan Syarat-syarat Pelepasan Kawasan Hutan untuk Bidang Pertanian
Setiap pelepasan Kawasan hutan untuk pengembangan usaha pertanian haruslah memenuhi tata cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Ada empat yang harus dilakukan untuk mendapatkan persetujuan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan usaha pertanian dengan lus 100 ha ke atas.
Tahap pertama : pengajuan permohonan
Tahap kedua : analisis permohonan
Tahap ketiga : persetujuan permohonan
Tahap ke empat : penetapan izin pelepasan kawasan hutan
Hak dan kewajiban pemohon
Pemohon yang memperoleh tanah pelepasan kawasan hutan diwajibkan untuk tetap memperhatikan asas-asas konversi, membayar seluruh biaya penataan batas dan pengukuran kadastral, dan biaya penerbitan pemberian Hak Guna Usaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang menjadi haknya memanfaatkan tanah tersebut sesuai peruntukannya.
Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pemukiman Transmigrasi
Dasar Hukum Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pemukiman Transmigrasi
Pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi diatur dalam keputusan Bersama Menteri Transmigrasi dan Menteri Kehutanan Nomor: SKB 80/MEN/1990 (357/Kpts-II/1990) tentang Ketentuan dan Tata cara Pelepasan kawasan Hutan untuk pemukiman Transmigrasi.
Pelepasan Kawasan Hutan adalah Pengubahan status kawasan Hutan untuk keperluan pemukiman transmigrasi. Pemukiman transmigrasi adalah satuan areal yang disediakan untuk pemukiman transmigrasi.
Hambatan yang dirasakan oleh para transmigran adalah kurangnya: (1) modal, (2) tenaga kerja, (3) kurangnya penguasaan teknologi. Untuk mengantisipasi hal itu perlu dilakukan upaya-upaya seperti pemberian kredit usaha tani dan peningkatan kualitas tenaga kerja, dengan jalan memberikan pelatihan kepada mereka. Dengan adanya upaya itu para transmigrean dapat menggarap lahan secara optimal.
Kawasan Hutan yang Dapat Dilepas untuk Pemukiman Transmigrasi
Ada dua kriteria kawasan hutan yang dapat dilepas untuk pemukiman transmigrasi, yaitu: (1) Tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau untuk keperluan lainnya, (2) Berdasarkan kemampuan lahannya cocok untuk pemukiman transmigrasi sesuai dengan pola pemukiman atau usaha yang akan dikembangkan.
Kawasan hutan yang diutamakan untuk dilepas demi kepentingan pemukiman transmigrasi adalah berupa lahan kosong, padang alang-alang, semak belukar, dan nonproduktif. Sedangkan kawasan hutan yang tidak boleh dilepas untuk pemukiman transmigrasi, adalah (1) hutan mangrove yang terletak dipulai kecil yang luasnya kurang dari 10 km, (2) kawasan hutan yang terletak sekurang-kurangnya selebar 100 meter di kiri kanan tepi sungai, (3) 50 meter di kiri kanan tepi anak sungai, (4) 200 meter di sekeliling mata air, (5) 200 meter di sepanjang tepi pantai, (6) 500 meter di sepanjang tepi waduk, dan (7) kawasan hutan yang terletak sekurang-kurangnya selebar dua kali dalamnya jurang di tepi jurang.
Ada tiga alasan kawasan hutan tersebut tidak dapat dilepas untuk pemukiman transmigrasi adalah konservasi tanah, air, dan lingkungan.
Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pemukiman Transmigrasi
Ada dua macam tata cara pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi yaitu: (1) pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi di atas 100ha, dan (2) pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi dibawah 100ha.
(1) Tata cara Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pemukiman Transmigrasi diatas 100 ha
Ada tiga tahapan yang harus dilakukan dalam rangka pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi di atas 100 ha, seperti berikut ini :
Tahap awal : penentuan status kawasan hutan
Tahap kedua : pengajuan permohonan
Tahap ketiga : persetujuan prinsip pencadangan
(2) Tata Cara pelepasan Kawasan Hutan untuk Pemukiman Transmigrasi di bawah 100ha
Tata Cara permohonan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi di bawah 100 ha cukup singkat. pemohon atau Kepala Kantor Wilayah Transmigrasi dan pemukiman Perambah Hutan provinsi mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor wilayah Departemen Kehutanan Provinsi, dengan dilampiri syarat-syarat. Surat-surat permohonan beserta lampirannya itu harus ditembuskan kepada: (1) Direktur Jenderal Penyiapan Pemukiman; (2) Direktur Jenderal Investarisasi dan Tata Guna Hutan; dan (3) Gubernur/ Kepala Daerah setempat.
Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi hanya terbatas pada Kewenangan untuk mengeluarkan surat pencadangan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi dengan luas maksimal 100 ha. yang berwenang untuk menetapkan keputusan pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi maksimal 100 ha, adalah Menteri Kehutanan. Penetapan ini berdasarkan Berita Acara Tata Batas.
Pelepasan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Lainnya
Pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan lainnya adalah pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan bukan kehutanan tanpa di imbangi dengan penggantian lainnya. Pelepasan seperti ini dapat terjadi karena bencana alam, misalnya terjadi pengikisan atau abrasi atas kawasan hutan di tepi pantai, tenggelamnya pulau-pulau kecil yang merupakan kawasan hutan, dan lain-lain. Pelepassan kawasan hutan dapat terjadi karena kepentingan politik.
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Dasar Hukum dan Pengertian Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pinjam Pakai kawasan hutan diatur dalam berbagai ketentuan berikut ini:
Pasal 5 ayat[5] peraturan pemerintah Nomor 33 tahun 1970 tentang perencanaan hutan.
Pasal 5 ayat [5] peraturan pemerintah nomor 33 tahun 1970 berbunyi: “perubahan batas kawasan hutan yang telah ditetapkan dengan berita acara tata batas harus dilakukan dengan surat keputusan menteri kehutanan. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa perubahan batas kawasan hutan meliputi penghapusan perluasan atau pengurangan.”
Ada dua pengertian yuridis penghapusan [pengurangan], yaitu; arti de jure dan arti de facto. Pengurangan dalam arti de jure adalah pengurangan terhadap luas kawasan hutan yang ada menjadi lebih sempit. Contohnya, penukaran kawasan hutan dengan tanah milik. Sedangkan pengurangan dalam arti de facto adalah pengurangan terhadap penggunaan kawasan hutan yang ada dan tidak mengakibatkan berkurangnya luas kawasan hutan. Contohnya, pinjam pakai dan pemakaian tanah secara liar.
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/Dj/1978 tentang Pedoman Tanah Kawasan Hutan.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 338/Kpts-II/1990 tentang Penugasan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan untuk dan atas nama Menteri Kehutanan Mendatangani Surat-surat Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Yang dimaksud dengan pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atau sebagian kawasan hutan baik yang telah ditunjuk maupun yang telah ditetapkan kepada pihak lain untuk pembangunan di luar sektor kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan , dan fungsi kawasan hutan tersebut [ pasal 1 ayat [1] Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 Tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan ].
Tujuan pinjam pakai kawasan hutan adalah untuk: (1) Membatasi dan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan umum terbatas atau untuk kepentingan lainnya diluar sektor kehutanan tanpa mengubah status, fungsi, dan peruntukannya (2) Menghindarkan terjadi enclove [ pendudukan] tanah oleh rakyat di dalam kawasan hutan. Sifat pinjam pakai kawasan hutan bersifat sementara. Pinjam pakai kawasan hutan dibagi menjadi dua macam, yaitu pinjam pakai dengan tanpa kompensasi dan pinjam pakai dengan kompensasi. Pinjam pakai dengan kompensasi dapat dibaca pada butir H. Pinjam pakai kawasan hutan tanpa kompensasi, hanya dapat diberikan untuk kepentingan umum secara terbatas dan pertahanan keamanan nasional yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah.
Tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan pinjam pakai kawasan hutan
Tata cara pengajuan permohonan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam pasal 10 keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 Tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan, pemohon atau badan hukum/instansi yang ingin memanfaatkan kawasan hutan untuk kepentingan umum terbatas harus mengajukan permohonan pinjam pakai kepada Menteri Kehutanan, melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat sepanjang menyangkut areal diluar wilayah kerja Perum Perhutani dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kehutanan Tingkat 1 atau Kepala UPT atau melalui Direktur Utama Perum Perhutani atau Kepala Unit Perum Perhutani dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi.
Surat permohonan harus dilampirkan hal-hal sebagai berikut.
a. Peta lokasi dan luas kawasan hutan yang dimohon.
b. Rencana penggunaan dan rencana kerja.
c. Rekomendasi Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 setempat.
d. Pernyataan kesanggupan untuk menanggung seluruh biaya sehubungan dengan
permohonan tersebut.
Surat permohonan beserta lampirannya itu harus disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi atau Direktur Utama Perum Perhutani kepada Menteri Kehutanan dalam tenggang waktu 20 hari kerja sejak diterimanya surat permohonan dengan disertai pertimbangan teknis berdasarkan pertimbangan di lapangan. Tata cara penyelesaian permohonan
Pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam pasal 11 sampai dengan pasal 13 peraturan pemerintah Nomor 55/Kpts-II/1994. Berdasarkan surat permohonan pinjam pakai kawasan hutan beserta lampirannya itu, maka Menteri Kehutanan dapat menolak atau menyetujui permohonan tersebut. Namun, sebelum memberikan persetujuan, menteri Kehutanan terlebih dahulu dapat meminta saran/ pertimbangan teknis kepada Pejabat Eselon I terkait dalam lingkup Departemen Kehutanan. pemerintah.
Hak dan kewajiban pemohon
Apabila permohonan disetujui dengan cara pinjam pakai tanpa kompensasi oleh Menteri Kehutanan, maka kepada pemohon dibebani beberapa kewajiban yang harus dilakukan , sehubungan dengan adanya permohonan tersebut.
Ada enam kewajiban yang harus dilakukan oleh pemohon, yaitu
Membayar ganti rugi nilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan berupa Iuran Hasil Hutan dan Dana Reboisasi atas tegakan hutan alam
Menanggung biaya pengukuran,pemetaan, dan pemancangan tanda batas atas kawasan hutan yang dipinjam
Menanggung biaya reboisasi dan reklamasi atas kawasan hutan yang dipinjam
Membuat dan menandatangani perjanjian pinjam pakai
Membantu menjaga keamanan didalam dan di sekitar kawasan hutan yang dipinjam
Memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah sewaktu melakukan pengawasan di lapangan.
Yang menjadi hak pemohon adalah menerima kawasan hutan yang telah ditentukan oleh Menteri Kehutanan.
Penandatangan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Apabila Menteri Kehutanan memberikan persetujuan atas permohonan pemohon, serta pemohon telah melakukan kewajiban yang ditentukan, maka tahap selanjutnya adalah penandatanganan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan.
Perjanjian pinjam pakai dengan tanpa kompensasi ditandatangani oleh pemohon bersama Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat untuk Kawasan hutan diluar Wilayah kerja perum perhutani dan atau antara pemohon dengan Direktur Utama Perum Perhutani untuk wilayah kerja Perum Perhutani.
Sejak ditandatangani perjanjian tersebut, maka sejak saat itu timbullah hak dan kewajiban kedua belah pihak, sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu.
Jangka Waktu dan Perjanjian Izin Pinjam Pakai
Jangka Waktu dan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam pasal 18 dan pasal 19 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Perjanjian pinjam pakai dengan tanpa kompensasi diberikan maksimal untuk jangka waktu lima tahun, terhitung sejak ditandatangani perjanjian pinjam pakai dan dapat diperpanjang, tata cara perpanjangan pinjam pakai kawasan hutan diatur sebagai berikut:
Permohonan perpanjangan pinjam pakai kawasan hutan diajukan kepada kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan atau Direktur Utama Perum Perhutani, dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Kehutanan. Permohonan itu baru dipertimbangkan setelah diadakan evaluasi atas penerapan pinjam pakai tersebut. Biaya evaluasi dibebankan kepada pemohon.
Berakhirnya dan Pembatalan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Ada dua cara berakhirnya perjanjian pinjam pakai kawasan hutan karena: tenggang waktu pinjam pakai berakhir atau karena dibatalkan oleh Menteri Kehutanan.
Alasan Menteri Kehutanan membatalkan Perjanjian Pinjam Pakai kawasan karena pemegang izin pinjam pakai:
Tidak menggunakan kawasan hutan tersebut sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam surat persetujuan dan atau perjanjian pinjam pakai
Memindahtangankan kawasan hutan yang dipinjam kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri
Tidak memenuhi kewajibannya pada waktu yang telah ditentukan sebagaimana yang tertera dalam surat perjanjian pinjam pakai yang telah di buat dan ditandatangani oleh yang bersangkutan
- Meninggalkan kawasan hutan yang dipinjam sebelum perjanjian pinjam pakai berakhir [pasal 20 keputusan menteri kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan].
Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan Kompensasi
Pinjam pakai dengan kompensasi diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55 tahun 1994 tentang pedoman pinjam pakai Kawasan Hutan. Ada dua hal yang diatur di dalam keputusan tersebut, yaitu pinjam pakai kawasan hutan tanpa kompensasi dan dengan kompensasi, yang dimaksud dengan pinjam pakai dengan kompensasi adalah pinjam pakai atas sebagian kawasan hutan baik yang telah ditunjuk maupun yang telah ditetapkan dengan membebani peminjam untuk menyediakan dan menyerahkan tanah kawasan hutan kepada Departemen Kehutanan untuk dijadikan kawasan hutan.
Pemohon yang menerima tanah pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi dibebani kewajiban:
Membayar ganti rugi nilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan berupa iuran Hasil Hutan dan Dana Reboisasi atas tegakan hutan alam;
Menanggung biaya pengukuran, pemetaan,dan pemancangan tata batas atas kawasan hutan yang dipinjam;
Mereklamasi kawasan hutan yang telah dipergunakan tanpa menunggu berakhirnya kegiatan;
Menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen Kehutanan yang clear and clean sebagai kompensasi atas hutan yang dipinjam;
Menanggung biaya penataan batas atas tanah kompensasi;
Menanggung biaya reboisasi atas lahan kompensasi;
Membuat dan mendatangani perjanjian pinjam pakai;
Membantu menjaga keamanan didalam dan sekitar kawasan hutan yang dipinjam;
Memeberikan kemudahan bagi aparat kehutanan sewaktu melakukan pengawasan dilapangan [ pasal 14 ayat [2] Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994].
Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan Ganti Rugi Letak Bangunan
Pinjam pakai kawasan hutan engan ganti rugi letak bangunan adalah membebani peminjam dengan kewajiban untuk membayar ganti rugi letak bangunan atas tidak dapat dipergunakan kawasan hutan selama jangka waktu peminjaman. pengecualian dari pembayaran ganti rugi letak bangunan, apabila kawasan hutan yang dipinjam untuk kepentingan sosial.
Pinjam pakai ini dapat diberikan untuk kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Swasta yang bersifat komersial. Tata cara mengajukan permohonan dan pemrosesannya mengikuti prosedur pinjam pakai biasa.
SUMBER:
- Salim, H.S.,D.H.,M.S. 2002. Dasar-dasar hukum kehutanan edisi revisi. Sinar Grafika. Jakarta
- Hanaf, yahya .1993 . pengukuhan hutan dan aspek-aspek hukum bagian 2 . bahan penataran teknis-yuridis kawasan hutan 1992/1993. Jakarta
- Dahuri, R.J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolahan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prodya Paramita. Jakarta.
- Departemen Kehutanan R. I. Indonesia.
- Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS). 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta
- Haeruman, herman.1998. masalah sosial dalam pembangunan kehutanan. Makalah pada seminar pascasarjana UI,4-5 november1992,jakarta.
Pelaksanaan Perlindungan Hutan
Pada prinsipnya yang bertanggung jawab dalam perlindungan hutan, adalah Instansi Kehutanan di Daerah Tingkat I, yang meliputi: Kantor W...
-
Bentuk kuasa yang sah di depan pengadilan untuk mewakili kepentingan pihak yang berperkara, di atur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR. Bentuk kua...
-
KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA “TUGAS DAN FUNGSI PERADILAN AGAMA” Dosen Pengampu: Achmad Hidayat, SH.,MH. Oleh: Tsania Aziziyah 1711111167 VI-D...
-
Pada bagian ini, dijelaskan secara ringkas jenis kuasa yang diatur dalam undang-undang. Penjelasan ini berkenaan dengan surat kuasa yang dap...