Tampilkan postingan dengan label HUKUM ACARA PERDATA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM ACARA PERDATA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 Mei 2020

BENTUK KUASA DI DEPAN PENGADILAN

Bentuk kuasa yang sah di depan pengadilan untuk mewakili kepentingan pihak yang berperkara, di atur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR. Bentuk kuasa tersebut dijelaskan dalam uraian berikut ini.

1. Kuasa Secara Lisan
Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR (Pasal 147 ayat (1) RBG) serta Pasal 120 HIR, bentuk kuasa lisan terdiri dari:

a. Dinyatakan secara lisan oleh Penggugat di Hadapan Ketua PN
Pasal 120 HIR memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Penggugat untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua PN, apabila tergugat tidak pandai menulis (buta aksara). Maka Penggugat dapat juga menyampaikan pernyataan lisan mengenai:
- Pemberian atau penunjukan kuasa kepada seseorang atau beberapa orang tertentu,
- Pernyataan pemberian kuasa secara lisan itu, disebutkan dalam catatan gugatan yang dibuat oleh 
Ketua PN.
Apabila ketua PN menerima secara lisan, ia wajib memformulasinya dalam bentuk gugatan tertulis. Sehubungan dengan itu, berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR, apabila gugatan lisan itu dibarengi dengan pemberian kuasa, hal itu wajib dicatat atau dimasukkan Ketua PN dalam gugatan tertulis yang dibuatnya.

b. Kuasa yang Ditunjuk Lisan di Persidangan
Bentuk ini tidak diatur secara jelas dalam undang-undang. Secara implisit dianggap tersirat dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dengan syarat:
- Penunjukan secara lisan tersebut dilakukan dengan kata-kata tegas (expressisverbis);
- Majelis memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang.
Penunjukan yang demikian dianggap sah dan memenuhi syarat formil sehingga kuasa tersebut berwenang mewakili kepentingan pihak yang bersangkutan dalam proses pemeriksaan. Hanya Hakim yang bersikap formalistiis, yang kurang setuju dengan penerapan ini.

2. Kuasa yang Ditunjuk dalam Surat Gugatan
Penunjukan kuasa dalam surat gugatan diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR (pasal 147 ayat (1) RBG) dikaitkan dengan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBG). Dalam surat gugatan, dicantumkan kuasa yang akan bertindak mewakili penggugat, Pencantuman dan penjelasan itu dalam surat gugatan didasarkan atas surat kuasa khusus.

3. Surat Kuasa Khusus
Pasal 123 ayat (1) HIR mengatakan, bahwa selain kuasa secara lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa dapat diwakili kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging.

a. Syarat dan Formulasi Surat Kuasa Khusus 
Pasal 123 HIR hanya menyebutkan syarat pokok saja, yaitu kuasa khusus berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus. MA telah mengeluarkan beberapa SEMA yang mengatur syarat surat kuasa khusus. 

1. Bedasarkan SEMA No. 2 Tahun 1959 [1]
i. Menyebutkan kompetensi relatif, di PN mana kuasa itu dipergunakan mewakili kepentingan 
pemberi kuasa;
ii. Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak (sebagai penggugat dan tergugat)
iii. Menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan antara 
pihak yang berperkara.
Adapun syarat tersebut bersifat kumulatif, salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi mengakibatakan:
1) Surat Kuasa Khusus cacat formil
2) Kedudukan kuasa sebagai pihak formil mewakili pemberi kuasa tidak sah, sehingga gugatan yang ditandatangani tidak sah.

2. SEMA No. 5 Tahun 1962 [2]
Memberi petunjuk kepada Hakim mengenai penyempurnaan penerapan Surat Kuasa Khusus yang digariskan dalam SEMA No. 2 Tahun 1959 mengenai PN dan PT dapat menyempurnakan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat. Oleh karena pengaturan terkait surat kuasa khusus tidak diatur dengan terperinci di dalam KUHPerdata maupun acara (HIR dan/atau RBG), sehingga pengaturan terkait dengan surat kuasa terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung. Beberapa SEMA tersebut yakni:
1. SEMA No. 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959;
2. SEMA No. 5 Tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962;
3. Kedua SEMA di atas dicabut dengan SEMA No. 01 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971;
4. SEMA No. 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.

3. SEMA No. 6 Tahun 1994
Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya:
a. Dalam perkara perdata harus dengan jelas disebutkan antara A sebagai Penggugat dan B sebagai 
    Tergugat, misalnya: dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya;
b. Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebutkan pasal-pasal KUHP yang didakwakan kepada 
    terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.

b. Bentuk Formil Surat Kuasa Khusus 
Berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR, kuasa khusus harus berbentuk tertulis.Menurut hukum, pengertian surat sama dengan akta, yaitu suatu tulisan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti perbuatan hukum.[3] Berdasarkan pengertian akta yang dimaksud, surat kuasa khusus dapat berbentuk antara lain:

1. Akta Notaris
Boleh berbentuk akta otentik, berupa akta notaris yaitu surat kuasa itu dibuat dihadapan notaris yang dihadiri pemberi dan penerima kuasa. Bentuk surat kuasa khusus adalah bebas (vrij vorm), tidak mesti berbentuk akta otentik dihadapan notaris.

2. Akta yang Dibuat di Depan Notaris
Biasanya bentuk surat kuasa khusus ini adalah dibuat dihadapan Panitera PN sesuai dengan Kompetensi relatif dan dilegalisir oleh Ketua PN atau Hakim agar surat kuasa khusus yang dibuat di depan panitera sah sebagai akta.

3. Akta di Bawah Tangan
Keabsahan surat kuasa yang berbentuk akta dibawah tangan tercipta terhitung sejak tanggal penanda- tanganan oleh para pihak. tidak diperlukan legalisasi dari pihak pejabat manapun. Bentuk surat kuasa dibawah tangan dianggap lebih efisien . Pembuatannya tidak memerlukan biaya dan dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MA No. 779 K/Pdt/1992 yang menyatakan tidak diperlukan legalisasi atas surat kuasa khusus dibawah tangan. Tanpa legalisasi, surat kuasa itu telah memenuhi syarat formil. 


FOOTNOTE:
[1] Himpunan SEMA dan PERMA, MA RI, Februari 1999, hlm. 25.
[2] Ibid, hlm. 78
[3] Lihat Mr. NE Algra, cs. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Bina Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 
16 dan 25.


Mohon tinggalkan komentar kritik dan saran yang membangun untuk penulis. terimakasih.

Selasa, 26 Mei 2020

KUASA MENURUT HUKUM

Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoordig atau legal mandatory ( legal representative ). Maksudnya, undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan tersebut tanpa memerlukan surat kuasa. Jadi, undang-undang sendiri yang menetapkan bahwa yang bersangkutan menjadi kuasa atau wakil yang berhak bertindak untuk dan atas nama orang atau badan itu. Salah satu contoh, Pasal 1 Angka 4 dan Pasal 82 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 ( UU Perseroan Terbatas ) yang menegaskan :
"Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan."

Berdasarkan ketentuan ini, undang-undang sendiri menentukan, direksi bertindak sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan perseroan di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari perseroan.

Di dalam HIR atau RBG, disinggung juga mengenai kuasa menurut hukum. Pada Pasal 123 Ayat (2) HIR dan Pasal 147 Ayat (2) RBG dijelaskan :
"Pegawai negeri yang karena peraturan umum menjalankan perkara untuk pemerintah Indonesia sebagai wakil negeri tidak perlu memakai surat kuasa khusus yang demikian itu."
Memperhatikan ketentuan ini, bagi orang yang berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum, kehadiran dan tampilnya ia sebagai wakil atau kuasa, tidak memerlukan surat kuasa khusus (bijzondere schriftelijke machtiging, power of attorney)dari pemerintah atau instansi yang bersangkutan.

Di bawah ini, dideskripsi beberapa kuasa menurut hukum yang dapat bertindak mewakili kepentingan orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari orang atau badan tersebut.

1. Wali Terhadap Anak Di Bawah Perwalian
Wali dengan sendirinya menurut hukum menjadi kuasa untuk bertindak mewakili kepentingan anak yang berada di bawah perwalian sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ( UU Perkawinan ).

2. Kurator Atas Orang Yang Tidak Waras
Menurut Pasal 229 HIR, seseorang yang sudah dewasa tetapi tidak bisa memelihara dirinya dan mengurus barangnya karena kurang waras, dapat diminta untuk diangkat seorang kurator. Dengan demikian, kurator sah dan berwenang bertindak mewakili kepentingan orang yang berada di bawah pengawasan tersebut sebagai kuasa menurut hukum.

3. Orang Tua Terhadap Anak Yang Belum Dewasa
Berdasarkan Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, orang tua dengan sendirinya menurut hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-anak sampai mereka dewasa. Oleh karena itu, orang tua adalah kuasa yang mewakili kepentingan anak-anak yang belum dewasa kepada pihak ketiga maupun di depan pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari anak tersebut.

4. BHP Sebagai Kurator Kepailitan
Menurut Pasal 13 Ayat (1) huruf b, Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 ( UU Kepailitan ) : dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator. Selanjutnya, menurut Pasal 13 Ayat (2) Undang-Undang dimaksud :
- Jika debitur atau kreditur tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada pengadilan, dengan sendiri menurut hukum, BHP ( Balai Harta Peninggalan ) bertindak sebagai kurator.
- Jadi yang dapat bertindak sebagai kurator dalam kepailitan, adalah kurator yang ditetapkan pengadilan berdasarkan usul debitur atau kreditur. Dalam hal debitur atau kreditur tidak mengajukan usul, dengan sendirinya menurut hukum, BHP yang bertindak sebagai kurator. Mengenai tugas kurator diatur dalam Pasal 67:
1) Melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit,
2) Dalam melakukan tugas, tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu orang debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan demikian disyaratkan.
Memperhatikan penjelasan di atas, BHP atau kurator dalam kepailitan berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum ( legal mandatory ) untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, dan tugas itu dilakukan berdasarkan perintah undang-undang tanpa memerlukan surat kuasa dari debitur.

5. Direksi Atau Pengurus Badan Hukum
Direksi atau pemimpin ( pengurus ) badan hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum ( legal mandatory ) mewakili kepentingan badan hukum yang bersangkutan :
- Pasal 1 Angka (4) jo. Pasal 82 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 ( UU tentang Perseroan Terbatas ) menegaskan, direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Jauh sebelum undang-undang ini lahir, praktik peradilan pun sudah menegaskan sikap ini. Salah satu contoh adalah Putusan MA No. 2332 K/Pdt/1985 [1], yang mengatakan, direktur suatu badan hukum ( perseroan terbatas ) dapat bertindak langsung mengajukan gugatan, dan tidak perlu lebih dahulu mendapat kuasa khusus dari presiden direktur dan para pemegang saham, karena PT sebagai badan hukum dapat langsung diwakili oleh direktur.
- Pengurus yayasan, menurut Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 ( UU tentang Yayasan ), bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Berdasarkan ketentuan ini, bukan pembina atau pengawas yang bertindak sebagai legal mandatory, tetapi organ pengurus tanpa memerlukan persetujuan dan surat kuasa dari siapa pun.
Pengurus koperasi, bertindak sebagai kuasa mewakili kepentingan koperasi di dalam dan di luar pengadilan.
Hal itu ditegaskan dalam Pasal 30 Ayat (2) huruf a, Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, yang menyatakan, pengurus berwenang mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian, pengurus berkedudukan sebagai kuasa menurut hukum mewakili kepentingan koperasi tanpa surat kuasa dari siapapun.

6. Direksi Perusahaan Perseroan ( Persero )
Perusahaan Perseroan ( Persero ) menurut Pasal 1 Angka 2 PP No. 12 Tahun 1998, adalah Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969, yaitu berbentuk Perseroan Terbatas sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 yang seluruh atau sedikitnya 51% saham yang dikeluarkan, dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung.
Kemudian Pasal 3 PP tersebut menegaskan, bahwa prinsip-prinsip Perseroan Terbatas sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 berlaku terhadap BUMN sebagai Persero. Oleh karena itu, Direksi berkedudukan sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari pihak mana pun.
Ketentuan mengenai kuasa menurut hukum yang diberikan undang-undang kepada persero, penerapannya tidak hanya terbatas pada BUMN, tetapi meliputi Perusahaan Daerah ( PD ). Pendapat ini diperkuat dalam praktik di pengadilan. Antara lain ditegaskan dalam Putusan MA No. 2539 K/Pdt/1985 [2] yang menyatakan, bahwa ternyata PD Panca Karya adalah badan hukum dan menurut Pasal 16 Ayat (1) Perda Tingkat 1 Maluku No. 5/1963, direksi perusahaan daerah mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan, oleh karena itu direksi dapat bertindak sebagai pihak tanpa kuasa dari pemda.

7. Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing
Perkembangan hukum di Indonesia, telah membenarkan " pimpinan perwakilan " perusahaan asing, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan kantor perwakilan perusahaan tersebut di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari kantor pusat ( head office ) yang ada di luar negeri. Dalam putusan ini, pimpinan perwakilan perusahaan asing yang ada di Indonesia, dinyatakan sebagai legal mandatory yang disejajarkan dengan wettelijke vertegenwoordig.

8. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik
Praktik peradilan juga telah mengakui, bahwa pimpinan cabang perusahaan domestik, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili cabang perusahaan tersebut di dalam dan di luar pengadilan, sesuai dengan batas kualitas pelimpahan wewenang yang diberikan Perusahaan Pusat kepada cabang tersebut. Dengan penegasan Putusan MA No. 779 K/Pdt/1992, bahwa pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa itu. Oleh karena itu, kuasa yang diberikan pimpinan cabang kepada seorang kuasa adalah sah.


FOOTNOTE:
[1] Putusan MA tanggal. 29-05-1985.
[2] Putusan MA tahun 1985.
[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2016, hlm. 8-12.

Mohon tinggalkan komentar kritik atau saran untuk penulis. Terimakasih.

MACAM MACAM KUASA

Pada bagian ini, dijelaskan secara ringkas jenis kuasa yang diatur dalam undang-undang. Penjelasan ini berkenaan dengan surat kuasa yang dapat dipergunakan di depan sidang pengadilan.

1. KUASA UMUM
Kuasa umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata. Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu:
- Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
- Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;
- Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
   Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa harus mendapat surat kuasa khusus. Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT Bandung No. 149/1972 (2-8-1972)(Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia: 1983/187) bahwa seorang manajer yang bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan, karena surat kuasa itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT terscbut, bukan Surat Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 123 HIR.

2. KUASA KHUSUS
Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan, pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempumakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR. Mengenai hal ini, akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan yang akan datang.
   Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan yang digariskan Pasal 1795 KUH Perdata. Misalnya, kuasa untuk melakukan penjualan rumah. Kuasa itu merupakan kuasa khusus, terbatas hanya untuk menjual rumah. Akan tetapi, meskipun bersifat kuasa khusus, kuasa itu tidak dapat dipergunakan untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya untuk menjual rumah. 

3. KUASA ISTIMEWA
Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.

a. Bersifat Limitatif 
kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, hanya terbatas: 
1) untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut, 
2) untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga, 
3) untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. (M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Indonesia: t.t/121)
   Menurut pasal ini, yang dapat mengucapkan sumpah sebagai alat bukti, hanya pihak yang beperkara secara pribadi. Tidak dapat diwakilkan kepada kuasa. Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat penting, misalnya pihak yang beperkara sakit sehingga tidak dapat hadir:
- Hakim dapat memberi izin kepada kuasa untuk mengucapkannya,
- Untuk itu, kuasa diberi kuasa istimewa oleh principal, dan principal menyebut dengan jelas bunyi sumpah yang akan diucapkan kuasa.

b. Harus Berbentuk Akta Otentik
Menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah. (R. Soesilo, RBG/HIR dengan Penjelasan: 1985) menafsirkannya dalam bentuk akta otentik (akta notaris). Pendapat ini diterima secara umum oleh praktisi hukum. Oleh karena itu, agar pemberian kuasa istimewa sah menurut hukum, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Dalam akta itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan kuasa. 

4. KUASA PERANTARA
Kuasa perantara disebut Juga agen (agent). Kuasa ini dikonstruksi berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata, dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan (commercial agency) atau makelar. Disebut juga broker dan factor, tetapi lazim disebut perwakilan dagang”.
    Dalam hal ini, pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan. (Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: 2009/8)

Mohon tinggalkan komentar kritik atau saran untuk penulis. terimakasih.

Pengertian, Sifat Perjanjian, Masa Berakhir Kuasa, Kesepakatan Kuasa Mutlak

Pembuatan surat kuasa khusus harus memenuhi syarat yang digariskan ketentuan perundang-undangan. Apabila tidak memenuhi, akibatnya surat kuasa tersebut tidak sah. Dampak yang timbul dari surat kuasa khusus tidak memenuhi syarat, yaitu:
- Surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan dan menandatangani gugatan adalah kuasa berdasarkan surat kuasa tesebut, dan
- Segala proses pemeriksaan tidak sah, atas alasan pemeriksaan dihadiri oleh kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa yang memenuhi syarat.
Apabila terjadi hal tersebut, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont vankelijk verklaard). Keadaan ini menimbulkan kerugian waktu dan kerugian biaya bagi penggugat. Untuk menghindari akibat tersebut, perlu diperhatikan syarat yang harus dipenuhi.

KUASA PADA UMUMNYA
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum diatur dalam Bab XVI (enam belas), Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. 
1. Pengertian Kuasa Secara Umum
Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi :
" Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan."[1]
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari:
- Pemberi kuasa atau lastgever ( instruction, mandate );
- Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau Lastgeving (volmacht, full power), jika:
- Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
- Dengan demikian, penerima kuasa ( lasthebber, mandatory ) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
- Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa. [2]
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali ( irrevocable ). Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat mengatur ( aanvullend recht ). [3]

2. Sifat Perjanjian Kuasa
Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai berikut

A. Penerima Kuasa Langsung Berkapasitas Sebagai Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh ( full power ) pemberi kuasa, yaitu :
- Memberi hak dan kewenangan ( authority ) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
- Tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
- Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan demikian, segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal ( pihak materiil ).

B. Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual ( consensuale overeenkomst ), yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan ( agreement ) dalam arti :
- Hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang berdiri sendiri dari pemberi dan penerima kuasa;
- Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka ( kedua belah pihak );
-  Oleh karena itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal 1793 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian, tanpa mengurangi penjelasan di atas, berdasarkan Pasal 1793 Ayat (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam, dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus. Kuasa khusus harus disepakati secara tegas dan harus dituangkan dalam bentuk akta atau surat khusus.

C. Berkarakter Garansi-Kontrak
Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal ( pemberi kuasa ), hanya terbatas :
- Sepanjang kewenangan ( volmacht ) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
- Apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan itu manjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas "garansi-kontrak" yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.
Dengan demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggung jawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau instruksi yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan anggapan hukum : atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya. [4]

3. Berakhirnya Kuasa
Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata Ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak ( secara bilateral ).
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata.

A. Pemberi Kuasa Menarik Kembali Secara Sepihak
Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali ( revocation, herroepen ) kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUH Perdata dan seterusnya, dengan acuan :
- Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
- Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk :
1) Mencabut secara tegas dengan tertulis, atau
2) Meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa.
- Pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata.
Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal prmberian kuasa kepada kepada kuasa yang baru, ditarik kembali secara diam-diam.
Sehubungan dengan pencabutan secara sepihak, ada baik nya dilakukan secara terbuka, dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang demikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beriktikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.

B. Salah Satu Pihak Meninggal
Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dari ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberian kuasa dimaksud.

C. Penerima Kuasa Melepas Kuasa
Pasal 1817 KUH Perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan ( op zegging ) kuasa yang diterimanya, dengan syarat :
- Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
- Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa. [5]

4. Dapat Disepakati Kuasa Mutlak
Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, dihubungkan dengan hak pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak pada satu sisi, serta hak penerima kuasa untuk melepas secara sepihak pada sisi lain, lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Perjanjian kuasa seperti ini, diberi judul ”kuasa mutlak”, yang memuat klausul:
- Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa;
- Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri peijanjian pemberian kuasa.

    Kedua bentuk klausul di atas, merupakan ciri terciptanya persetujuan kuasa mutlak. Klausul itu, menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, sehingga ada yang berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan persetujuan yang demikian. Diperbolehkannya membuat persetujuan kuasa mutlak, bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan Pasal 1338 KUH Pcrdata. Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang (prohibition) oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (morals and public order).

    Pendapat dan pendirian itu, dipedomani yurisprudensi. Salah satu di antaranya, Putusan MA No. 3604 K/pdt/1985. (Putusan MA Tgl 17-11-1985) Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum yang dikemukakan dalam Putusan MA No. 731 K/Sip/1975, (Putusan MA Tgl 16-12-1975) yang antara lain menyatakan:
- Surat kuasa mutlak, tidak dijumpai aturannya dalam KUH Perdata. Namun demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, atau menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) atau disebut juga perpetual and usual or customary condition;
- Putusan MA No. 731 K/Sip/1975 telah menegaskan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak mengikat. Oleh karena itu, jika Para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable, onherroeplijk). Pendirian ini, didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur (additional law); 
- Begitu juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak, telah diterima penerapannya di Indonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata.

    Akan tetapi, perlu diingat larangan yang dimuat dalam Instruksi Mendagri No.14 Tahun 1982. Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu, dijelaskan dalam Putusan MA No. 2584 K/Pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan: surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyelundupkan jual beli tanah. (M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: 2009/6)

FOOTNOTE:
[1] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. 25, hlm. 382.
[2] Lihat Putusan MA No. 331 K/Sip/1973, tgl. 4-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA 1997, hlm. 57.
[3] Bandingkan Putusan MA No. 731 K/Sip/1975, tgl. 16-12-1976, Ibid., hlm. 292.
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2016, hlm. 2-3.
[5] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. 16, hlm. 4-5.

Mohon tinggalkan komentar kritik atau saran untuk penulis. terimakasih.

Pelaksanaan Perlindungan Hutan

     Pada prinsipnya yang bertanggung jawab dalam perlindungan hutan, adalah Instansi Kehutanan di Daerah Tingkat I, yang meliputi: Kantor W...