Selasa, 26 Mei 2020

Pengertian, Sifat Perjanjian, Masa Berakhir Kuasa, Kesepakatan Kuasa Mutlak

Pembuatan surat kuasa khusus harus memenuhi syarat yang digariskan ketentuan perundang-undangan. Apabila tidak memenuhi, akibatnya surat kuasa tersebut tidak sah. Dampak yang timbul dari surat kuasa khusus tidak memenuhi syarat, yaitu:
- Surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan dan menandatangani gugatan adalah kuasa berdasarkan surat kuasa tesebut, dan
- Segala proses pemeriksaan tidak sah, atas alasan pemeriksaan dihadiri oleh kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa yang memenuhi syarat.
Apabila terjadi hal tersebut, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont vankelijk verklaard). Keadaan ini menimbulkan kerugian waktu dan kerugian biaya bagi penggugat. Untuk menghindari akibat tersebut, perlu diperhatikan syarat yang harus dipenuhi.

KUASA PADA UMUMNYA
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum diatur dalam Bab XVI (enam belas), Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. 
1. Pengertian Kuasa Secara Umum
Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi :
" Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan."[1]
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari:
- Pemberi kuasa atau lastgever ( instruction, mandate );
- Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau Lastgeving (volmacht, full power), jika:
- Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa;
- Dengan demikian, penerima kuasa ( lasthebber, mandatory ) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
- Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa. [2]
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali ( irrevocable ). Hal ini dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat mengatur ( aanvullend recht ). [3]

2. Sifat Perjanjian Kuasa
Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai berikut

A. Penerima Kuasa Langsung Berkapasitas Sebagai Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh ( full power ) pemberi kuasa, yaitu :
- Memberi hak dan kewenangan ( authority ) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
- Tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
- Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan demikian, segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal ( pihak materiil ).

B. Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual ( consensuale overeenkomst ), yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan ( agreement ) dalam arti :
- Hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang berdiri sendiri dari pemberi dan penerima kuasa;
- Hubungan hukum itu dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa, berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka ( kedua belah pihak );
-  Oleh karena itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal 1793 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian, tanpa mengurangi penjelasan di atas, berdasarkan Pasal 1793 Ayat (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat terjadi secara diam-diam, dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus. Kuasa khusus harus disepakati secara tegas dan harus dituangkan dalam bentuk akta atau surat khusus.

C. Berkarakter Garansi-Kontrak
Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal ( pemberi kuasa ), hanya terbatas :
- Sepanjang kewenangan ( volmacht ) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
- Apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang diberikan. Sedang pelampauan itu manjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas "garansi-kontrak" yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.
Dengan demikian, hal-hal yang dapat diminta tanggung jawab pelaksanaan dan pemenuhannya kepada pemberi kuasa, hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat atau instruksi yang diberikan. Di luar itu, menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan anggapan hukum : atas tindakan kuasa yang melampaui batas, kuasa secara sadar telah memberi garansi bahwa dia sendiri yang akan memikul pelaksanaan pemenuhannya. [4]

3. Berakhirnya Kuasa
Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata Ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak ( secara bilateral ).
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata.

A. Pemberi Kuasa Menarik Kembali Secara Sepihak
Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali ( revocation, herroepen ) kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUH Perdata dan seterusnya, dengan acuan :
- Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
- Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk :
1) Mencabut secara tegas dengan tertulis, atau
2) Meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa.
- Pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata.
Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal prmberian kuasa kepada kepada kuasa yang baru, ditarik kembali secara diam-diam.
Sehubungan dengan pencabutan secara sepihak, ada baik nya dilakukan secara terbuka, dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang demikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beriktikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.

B. Salah Satu Pihak Meninggal
Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dari ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberian kuasa dimaksud.

C. Penerima Kuasa Melepas Kuasa
Pasal 1817 KUH Perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan ( op zegging ) kuasa yang diterimanya, dengan syarat :
- Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
- Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa. [5]

4. Dapat Disepakati Kuasa Mutlak
Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, dihubungkan dengan hak pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak pada satu sisi, serta hak penerima kuasa untuk melepas secara sepihak pada sisi lain, lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Perjanjian kuasa seperti ini, diberi judul ”kuasa mutlak”, yang memuat klausul:
- Pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa;
- Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri peijanjian pemberian kuasa.

    Kedua bentuk klausul di atas, merupakan ciri terciptanya persetujuan kuasa mutlak. Klausul itu, menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, sehingga ada yang berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan persetujuan yang demikian. Diperbolehkannya membuat persetujuan kuasa mutlak, bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan Pasal 1338 KUH Pcrdata. Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang (prohibition) oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (morals and public order).

    Pendapat dan pendirian itu, dipedomani yurisprudensi. Salah satu di antaranya, Putusan MA No. 3604 K/pdt/1985. (Putusan MA Tgl 17-11-1985) Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum yang dikemukakan dalam Putusan MA No. 731 K/Sip/1975, (Putusan MA Tgl 16-12-1975) yang antara lain menyatakan:
- Surat kuasa mutlak, tidak dijumpai aturannya dalam KUH Perdata. Namun demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, atau menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) atau disebut juga perpetual and usual or customary condition;
- Putusan MA No. 731 K/Sip/1975 telah menegaskan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak mengikat. Oleh karena itu, jika Para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable, onherroeplijk). Pendirian ini, didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur (additional law); 
- Begitu juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak, telah diterima penerapannya di Indonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata.

    Akan tetapi, perlu diingat larangan yang dimuat dalam Instruksi Mendagri No.14 Tahun 1982. Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu, dijelaskan dalam Putusan MA No. 2584 K/Pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan: surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyelundupkan jual beli tanah. (M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: 2009/6)

FOOTNOTE:
[1] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. 25, hlm. 382.
[2] Lihat Putusan MA No. 331 K/Sip/1973, tgl. 4-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA 1997, hlm. 57.
[3] Bandingkan Putusan MA No. 731 K/Sip/1975, tgl. 16-12-1976, Ibid., hlm. 292.
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2016, hlm. 2-3.
[5] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. 16, hlm. 4-5.

Mohon tinggalkan komentar kritik atau saran untuk penulis. terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pelaksanaan Perlindungan Hutan

     Pada prinsipnya yang bertanggung jawab dalam perlindungan hutan, adalah Instansi Kehutanan di Daerah Tingkat I, yang meliputi: Kantor W...