Bentuk kuasa yang sah di depan pengadilan untuk mewakili kepentingan pihak yang berperkara, di atur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR. Bentuk kuasa tersebut dijelaskan dalam uraian berikut ini.
1. Kuasa Secara Lisan
Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR (Pasal 147 ayat (1) RBG) serta Pasal 120 HIR, bentuk kuasa lisan terdiri dari:
a. Dinyatakan secara lisan oleh Penggugat di Hadapan Ketua PN
Pasal 120 HIR memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Penggugat untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua PN, apabila tergugat tidak pandai menulis (buta aksara). Maka Penggugat dapat juga menyampaikan pernyataan lisan mengenai:
- Pemberian atau penunjukan kuasa kepada seseorang atau beberapa orang tertentu,
- Pernyataan pemberian kuasa secara lisan itu, disebutkan dalam catatan gugatan yang dibuat oleh
Ketua PN.
Apabila ketua PN menerima secara lisan, ia wajib memformulasinya dalam bentuk gugatan tertulis. Sehubungan dengan itu, berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR, apabila gugatan lisan itu dibarengi dengan pemberian kuasa, hal itu wajib dicatat atau dimasukkan Ketua PN dalam gugatan tertulis yang dibuatnya.
b. Kuasa yang Ditunjuk Lisan di Persidangan
Bentuk ini tidak diatur secara jelas dalam undang-undang. Secara implisit dianggap tersirat dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dengan syarat:
- Penunjukan secara lisan tersebut dilakukan dengan kata-kata tegas (expressisverbis);
- Majelis memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang.
Penunjukan yang demikian dianggap sah dan memenuhi syarat formil sehingga kuasa tersebut berwenang mewakili kepentingan pihak yang bersangkutan dalam proses pemeriksaan. Hanya Hakim yang bersikap formalistiis, yang kurang setuju dengan penerapan ini.
2. Kuasa yang Ditunjuk dalam Surat Gugatan
Penunjukan kuasa dalam surat gugatan diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR (pasal 147 ayat (1) RBG) dikaitkan dengan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBG). Dalam surat gugatan, dicantumkan kuasa yang akan bertindak mewakili penggugat, Pencantuman dan penjelasan itu dalam surat gugatan didasarkan atas surat kuasa khusus.
3. Surat Kuasa Khusus
Pasal 123 ayat (1) HIR mengatakan, bahwa selain kuasa secara lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa dapat diwakili kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging.
a. Syarat dan Formulasi Surat Kuasa Khusus
Pasal 123 HIR hanya menyebutkan syarat pokok saja, yaitu kuasa khusus berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus. MA telah mengeluarkan beberapa SEMA yang mengatur syarat surat kuasa khusus.
1. Bedasarkan SEMA No. 2 Tahun 1959 [1]
i. Menyebutkan kompetensi relatif, di PN mana kuasa itu dipergunakan mewakili kepentingan
pemberi kuasa;
ii. Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak (sebagai penggugat dan tergugat)
iii. Menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan antara
pihak yang berperkara.
Adapun syarat tersebut bersifat kumulatif, salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi mengakibatakan:
1) Surat Kuasa Khusus cacat formil
2) Kedudukan kuasa sebagai pihak formil mewakili pemberi kuasa tidak sah, sehingga gugatan yang ditandatangani tidak sah.
2. SEMA No. 5 Tahun 1962 [2]
Memberi petunjuk kepada Hakim mengenai penyempurnaan penerapan Surat Kuasa Khusus yang digariskan dalam SEMA No. 2 Tahun 1959 mengenai PN dan PT dapat menyempurnakan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat. Oleh karena pengaturan terkait surat kuasa khusus tidak diatur dengan terperinci di dalam KUHPerdata maupun acara (HIR dan/atau RBG), sehingga pengaturan terkait dengan surat kuasa terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung. Beberapa SEMA tersebut yakni:
1. SEMA No. 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959;
2. SEMA No. 5 Tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962;
3. Kedua SEMA di atas dicabut dengan SEMA No. 01 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971;
4. SEMA No. 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.
3. SEMA No. 6 Tahun 1994
Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya:
a. Dalam perkara perdata harus dengan jelas disebutkan antara A sebagai Penggugat dan B sebagai
Tergugat, misalnya: dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya;
b. Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebutkan pasal-pasal KUHP yang didakwakan kepada
terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.
b. Bentuk Formil Surat Kuasa Khusus
Berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR, kuasa khusus harus berbentuk tertulis.Menurut hukum, pengertian surat sama dengan akta, yaitu suatu tulisan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti perbuatan hukum.[3] Berdasarkan pengertian akta yang dimaksud, surat kuasa khusus dapat berbentuk antara lain:
1. Akta Notaris
Boleh berbentuk akta otentik, berupa akta notaris yaitu surat kuasa itu dibuat dihadapan notaris yang dihadiri pemberi dan penerima kuasa. Bentuk surat kuasa khusus adalah bebas (vrij vorm), tidak mesti berbentuk akta otentik dihadapan notaris.
2. Akta yang Dibuat di Depan Notaris
Biasanya bentuk surat kuasa khusus ini adalah dibuat dihadapan Panitera PN sesuai dengan Kompetensi relatif dan dilegalisir oleh Ketua PN atau Hakim agar surat kuasa khusus yang dibuat di depan panitera sah sebagai akta.
3. Akta di Bawah Tangan
Keabsahan surat kuasa yang berbentuk akta dibawah tangan tercipta terhitung sejak tanggal penanda- tanganan oleh para pihak. tidak diperlukan legalisasi dari pihak pejabat manapun. Bentuk surat kuasa dibawah tangan dianggap lebih efisien . Pembuatannya tidak memerlukan biaya dan dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MA No. 779 K/Pdt/1992 yang menyatakan tidak diperlukan legalisasi atas surat kuasa khusus dibawah tangan. Tanpa legalisasi, surat kuasa itu telah memenuhi syarat formil.
FOOTNOTE:
[1] Himpunan SEMA dan PERMA, MA RI, Februari 1999, hlm. 25.
[2] Ibid, hlm. 78
[3] Lihat Mr. NE Algra, cs. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Bina Cipta, Jakarta, 1997, hlm.
16 dan 25.
Mohon tinggalkan komentar kritik dan saran yang membangun untuk penulis. terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar