KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA
“TUGAS DAN FUNGSI PERADILAN AGAMA”
Dosen Pengampu:
Achmad Hidayat, SH.,MH.
Oleh:
Tsania Aziziyah
1711111167
VI-D
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA
TAHUN
2019-2020
________________________________________________
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “Tugas dan Fungsi Peradilan Agama”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas oleh dosen pengampu matakuliah Hukum Acara Peradilan Agama, Bapak Achmad Hidayat, SH.,MH. di Universitas Bhayangkara Surabaya. Makalah ini disusun dari hasil ungkapan pemikiran saya, internet, buku, dan undang-undang sebagai referensi.
Dalam Penulisan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan penulisan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Surabaya, April 2020
Penulis
________________________________________________
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009. Pengadilan Agama Surabaya selaku pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas pokok dan fungsi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
1. Mahkamah Syar'iyah Provinsi (pengadilan tingkat banding)
2. Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Kota (pengadilan tingkat pertama)
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan sering kali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi: 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini tampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta 'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).
Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar'i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama pada masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu keraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.
Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan landraad (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk excecutoire verklaring (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang. Tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agama yang disebut dengan preisterraacf tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya, dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah yang besifat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama.
Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai tampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara;
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi;
Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan;
Susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Pengadilan Agama Surabaya sebagai Pengadilan Tingkat pertama, maka Pengadilan Agama Surabaya harus melakukan pengawasan terhadap jalan peradilan dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya di Pengadilan Agama Surabaya. Dan setiap kegiatan tugas tugas pokok pada Pengadilan Agama Surabaya serta pelayanan yang langsung berhubungan dengan masyarakat pengguna pengadilan harus transparan, akuntable, dapat di akses oleh publik melalui media (web site) yang telah tersedia di setiap pengadilan.
Laporan Kinerja Pengadilan Agama Surabaya ini merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap publik dalam melaksanakan program program yang telah ditetapkan yang menyangkut akan terlaksananya pelayanan yang baik terhadap masyarakat, maka program program yang menyangkut tentang keterbukaan dan akses kepada publik telah dilakukan dengan melaksanakan beberapa program sebagai berikut;
Transparansi biaya perkara di setiap Pengadilan Agama Surabaya;
Tranparansi tentang penerimaan perkara dengan memberlakukan daerah steriil area yang mana pejabat atau pegawai pengadilan tidak lagi bisa bertemu dengan pihak pihak yang berpekara;
Memfungsikan meja Informasi tentang pengadilan dan penanganan pengaduan masyarakat yang tidak puas akan pelayanan pengadilan;
Memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap sistem penerimaan perkara sampai kepada pengambilan putusan atau surat surat yang dibutuhkan oleh pengguna pengadilan;
Perbaikan sarana dan prasarana dan pengembangan pengetahuan Sumber Daya Manusia;
Rumusan Masalah
Bagaimanakah Tugas dan Fungsi Peradilan Agama Menurut Ketentuan Perundang-Undangan?
Tujuan
Untuk mengetahui pelaksanaan tugas dan fungsi Peradilan Agama yang sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan.
BAB II
PEMBAHASAN
Tugas Peradilan Agama
Peradilan agama berwenang mengadili dan memutus perkara serta menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama islam, dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. (Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006)
Ketentuan Pasal 49 diatas dapat disimpulkan bahwa perkara yang menjadi wewenang peradilan agama ditentukan dua syarat yaitu:
Pihak-pihak yang berperkara adalah semuanya beragama islam.
Perkaranya dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
Sumber hukum perdata islam materiil, atau menurut istilah Roihan A.Rasyid (2000:6) disebut juga hukum perdata islam, yang menjadi wewenang eradilan agama, yaitu:
Di bidang perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1 UU Angka 1 Tahun 1974)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (a) UU nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut Syari’at Islam.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perkawinan menurut Syari’at Islam
Pengadilan agama berwewenang atas perkara hal-hal berikut ini:
Sengekta Pernikahan – Pengadilan agama berwewenang untuk menyelesaikan proses sengketa pernikahan yang terjadi di masyarakat dan menetapkan hukum-hukumnya.
Dispensi Pernikahan – Dispensi yang dimaksudkan disini adalah bagi mereka yang melakukan proses pernikahan, akan tetapi umur mereka tidak mencukupi sesuai dengan aturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Adapun ketentuan yang tidak boleh dilanggar adalah bagi kaum pria yang usianya dibawah 19 tahun dan kaum wanita yang berusia dibawah 16 tahun.
Sah atau Pembatalan Pernikahan – Pengadilan agama juga berwewenang untuk menetapkan sah atau tidaknya pernikahan tersebut sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Cerai – Pengadilan agama juga berwewenang untuk menyelesaikan perkara cerai yang diajukan oleh pihak suami ataupun dari pihak istri karena hal-hal tertentu yang terjadi diluar kendali.
Di bidang kewarisan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. (Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (b) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kewarisan menurut Syari’at Islam.
Dalam penentuan ahli waris sudah tertulis dalam Undang-Undang no 7 pasal 49 ayat 3 tahun 1989. Dalam pasal tersebut, pengadilan agama memiliki wewenang terhadap:
Penentuan Ahli Waris – Pengadilan agama memiliki wewenang untuk menetapkan siapa ahli waris dari harta benda dari keluarganya, ini juga merupakan salah satu contoh norma hukum.
Pembagian Ahli Waris – Apabila keluarga tersebut memiliki banyak kekayaan harta benda dan juga ahli warisnya terdiri atas perempuan dan laki-laki, maka pengadilan agama berwewenang untuk melakukan pembagian harta benda tersebut secara adil sesuai peraturan undang-undang.
Di bidang wasiat
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. (Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (c) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Wasiat menurut Syari’at Islam
Dalam hal ini, pengadilan agama dapat menjalankan wewenangnya setelah orang yang mengajukan wasiat tersebut meninggal dunia Adapun ketentuan lebih mendetail tentang wasiat sudah diatur dalam Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 yang berisi tentang persyaratan membuat wasiat, harga benda yang akan diwasiatkan, berapa jumlah wasiat, kepada siapa wasiat tersebut ditujukan dan lain sebagainya. Tentunya pengadilan agama tinggal menjalankan sesuai perjanjian yang telah dibuat dengan yang mengajukan wasiat.
Di bidang hibah
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.. (Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (d) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hibah menurut Syari’at Islam.
Di bidang wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Pasal 1 angka (1) UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (e) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Wakaf menurut Syari’at Islam
Contohnya adalah ada seseorang yang ingin mewakafkan sebidang tanahnya untuk shadaqoh agar dimanfaatkan dalam menyebarkan agama Islam. Sebidang tanah tersebut diminta untuk dibangun sebuah TPA atau bisa juga mushola agar orang-orang dapat beribadah dan beristirahat sejenak. Sebelum hal tersebut dikerjakan, tentunya pengadilan agama berwewenang untuk memutuskan, apakah sudah mematuhi standar yang tertulis atau belum. Pengadilan agama juga berwewenang untuk mengambil keputusan dari masalah wakaf dan shadaqoh tersebut.
Di bidang zakat
Zakat adalah Harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. (Pasal 1 angka (2) Undang-Undang 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (f) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Huruf
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Zakat menurut Syari’at Islam
Di bidang infaq
Pengertian infaq adalah berasal dari kata anfaqa–yunfiqu yang artinya membelanjakan atau membiayai yang berhubungan dengan usaha realisasi perintah-perintah Allah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Kelima infaq adalah pemberian (sumbangan) harta dan sebagainya (selain zakat wajib) untuk kebaikan.
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (g) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Infaq menurut Syari’at Islam
Di bidang shadaqah
Shadaqah ialah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontasn dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. (Pasal 49 huruf h Undang-undang Nomor 3 tahun 2006)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (h) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho. Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Shadaqah menurut Syari’at Islam
Ekonomi syari’ah
Ekonomi syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah (lihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah). Jadi, suatu perkara menjadi perkara ekonomi syariah, bila didasarkan pada prinsip-prinsip hukum syariah.
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
bank syari'ah;
lembaga keuangan mikro syari'ah;
asuransi syari'ah;
reasuransi syari'ah;
reksa dana syari'ah;
obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
sekuritas syari'ah;
pembiayaan syari'ah;
pegadaian syari'ah;
dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
bisnis syari'ah.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Fatwa Dewan Syari’at Nasional (DSN), dan
Ekonomi menurut Syari’at Islam
Fungsi Peradilan Agama
Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan agama tingkat pertama mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
Fungsi Peradilan
Pasal 51 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengatur sebagai berikut:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang: Perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, infaq, zakat, sedekah dan ekonomi syariah.”
Fungsi pembinaan
Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 sebagai berikut: “Memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan.”
Fungsi Pengawasan
Pasal 53 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur sebagai berikut:
“Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, dan jurusita di daerah hukumnya.”
Fungsi Nasehat
Pasal 52 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur sebagai berikut:
“Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat, tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta”
Fungsi Administratif
Angka 3 penjelasan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur sebagai berikut:
“Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka adanya perhatian yang besar terhadap tatacara dan pengelolaan administrasi pengadilan, hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam menyelenggarakan admiminstrasi, baik di bidang perkara maupun kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain lain, tetapi juga akan memepengaruhi kelancaran penyelenggaraan pengadilan itu sendiri oleh karena itu administrasi pengadilan dalam undang undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan penangananya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat yaitu Panitera yang merangkap Sekretaris”
Fungsi Akses kepada Publik
Pasal 64 A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang mengatur sebagai berikut:
Ayat 1: “Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.” Ayat 2: “Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.”
Fungsi Bantuan Hukum/Advokasi
Pasal 60 C Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang mengatur sebagai berikut:
Ayat 1 : “Pada setiap Pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hokum.”
Ayat 2: “Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut sampai memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Fungsi lain-lain
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur sebagai berikut:
Ayat 2: “Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud pasal 49 dan pasal 51, pengadilan dapat diserahi tugas tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan Undang Undang.”
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009. Pengadilan Agama Surabaya selaku pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas pokok dan fungsi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Adapun Peradilan Agama memiliki fungsi: peradilan, pembinaan, pengawasan, nasehat, administratif, akses publik, bantuan hukum, dan lain-lain.
________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
A. Roihan, Rasyid. 2000. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
Afandi,SH.,MH., 2019. Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Teori Dan Praktik.
Malang: Setara Press.
Peraturan Perundang-Undangan
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Website
https://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_agama_di_Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar