Tugas Peradilan Agama
Peradilan agama berwenang mengadili dan memutus perkara serta menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama islam, dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. (Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006)
Ketentuan Pasal 49 diatas dapat disimpulkan bahwa perkara yang menjadi wewenang peradilan agama ditentukan dua syarat yaitu:
Pihak-pihak yang berperkara adalah semuanya beragama islam.
Perkaranya dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
Sumber hukum perdata islam materiil, atau menurut istilah Roihan A.Rasyid (2000:6) disebut juga hukum perdata islam, yang menjadi wewenang eradilan agama, yaitu:
Di bidang perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1 UU Angka 1 Tahun 1974)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (a) UU nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut Syari’at Islam.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perkawinan menurut Syari’at Islam
Pengadilan agama berwewenang atas perkara hal-hal berikut ini:
Sengekta Pernikahan – Pengadilan agama berwewenang untuk menyelesaikan proses sengketa pernikahan yang terjadi di masyarakat dan menetapkan hukum-hukumnya.
Dispensi Pernikahan – Dispensi yang dimaksudkan disini adalah bagi mereka yang melakukan proses pernikahan, akan tetapi umur mereka tidak mencukupi sesuai dengan aturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Adapun ketentuan yang tidak boleh dilanggar adalah bagi kaum pria yang usianya dibawah 19 tahun dan kaum wanita yang berusia dibawah 16 tahun.
Sah atau Pembatalan Pernikahan – Pengadilan agama juga berwewenang untuk menetapkan sah atau tidaknya pernikahan tersebut sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Cerai – Pengadilan agama juga berwewenang untuk menyelesaikan perkara cerai yang diajukan oleh pihak suami ataupun dari pihak istri karena hal-hal tertentu yang terjadi diluar kendali.
Di bidang kewarisan
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. (Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (b) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kewarisan menurut Syari’at Islam.
Dalam penentuan ahli waris sudah tertulis dalam Undang-Undang no 7 pasal 49 ayat 3 tahun 1989. Dalam pasal tersebut, pengadilan agama memiliki wewenang terhadap:
Penentuan Ahli Waris – Pengadilan agama memiliki wewenang untuk menetapkan siapa ahli waris dari harta benda dari keluarganya, ini juga merupakan salah satu contoh norma hukum.
Pembagian Ahli Waris – Apabila keluarga tersebut memiliki banyak kekayaan harta benda dan juga ahli warisnya terdiri atas perempuan dan laki-laki, maka pengadilan agama berwewenang untuk melakukan pembagian harta benda tersebut secara adil sesuai peraturan undang-undang.
Di bidang wasiat
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. (Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (c) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Wasiat menurut Syari’at Islam
Dalam hal ini, pengadilan agama dapat menjalankan wewenangnya setelah orang yang mengajukan wasiat tersebut meninggal dunia Adapun ketentuan lebih mendetail tentang wasiat sudah diatur dalam Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 yang berisi tentang persyaratan membuat wasiat, harga benda yang akan diwasiatkan, berapa jumlah wasiat, kepada siapa wasiat tersebut ditujukan dan lain sebagainya. Tentunya pengadilan agama tinggal menjalankan sesuai perjanjian yang telah dibuat dengan yang mengajukan wasiat.
Di bidang hibah
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.. (Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (d) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hibah menurut Syari’at Islam.
Di bidang wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Pasal 1 angka (1) UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (e) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Wakaf menurut Syari’at Islam
Contohnya adalah ada seseorang yang ingin mewakafkan sebidang tanahnya untuk shadaqoh agar dimanfaatkan dalam menyebarkan agama Islam. Sebidang tanah tersebut diminta untuk dibangun sebuah TPA atau bisa juga mushola agar orang-orang dapat beribadah dan beristirahat sejenak. Sebelum hal tersebut dikerjakan, tentunya pengadilan agama berwewenang untuk memutuskan, apakah sudah mematuhi standar yang tertulis atau belum. Pengadilan agama juga berwewenang untuk mengambil keputusan dari masalah wakaf dan shadaqoh tersebut.
Di bidang zakat
Zakat adalah Harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. (Pasal 1 angka (2) Undang-Undang 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (f) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Huruf
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Zakat menurut Syari’at Islam
Di bidang infaq
Pengertian infaq adalah berasal dari kata anfaqa–yunfiqu yang artinya membelanjakan atau membiayai yang berhubungan dengan usaha realisasi perintah-perintah Allah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Kelima infaq adalah pemberian (sumbangan) harta dan sebagainya (selain zakat wajib) untuk kebaikan.
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (g) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Infaq menurut Syari’at Islam
Di bidang shadaqah
Shadaqah ialah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontasn dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. (Pasal 49 huruf h Undang-undang Nomor 3 tahun 2006)
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (h) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho. Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Shadaqah menurut Syari’at Islam
Ekonomi syari’ah
Ekonomi syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah (lihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah). Jadi, suatu perkara menjadi perkara ekonomi syariah, bila didasarkan pada prinsip-prinsip hukum syariah.
Dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
bank syari'ah;
lembaga keuangan mikro syari'ah;
asuransi syari'ah;
reasuransi syari'ah;
reksa dana syari'ah;
obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
sekuritas syari'ah;
pembiayaan syari'ah;
pegadaian syari'ah;
dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
bisnis syari'ah.
Sumber hukumnya:
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Fatwa Dewan Syari’at Nasional (DSN), dan
Ekonomi menurut Syari’at Islam
Fungsi Peradilan Agama
Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan agama tingkat pertama mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
Fungsi Peradilan
Pasal 51 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengatur sebagai berikut:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang: Perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, infaq, zakat, sedekah dan ekonomi syariah.”
Fungsi pembinaan
Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 sebagai berikut: “Memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan.”
Fungsi Pengawasan
Pasal 53 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur sebagai berikut:
“Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, dan jurusita di daerah hukumnya.”
Fungsi Nasehat
Pasal 52 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur sebagai berikut:
“Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat, tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta”
Fungsi Administratif
Angka 3 penjelasan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur sebagai berikut:
“Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka adanya perhatian yang besar terhadap tatacara dan pengelolaan administrasi pengadilan, hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam menyelenggarakan admiminstrasi, baik di bidang perkara maupun kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain lain, tetapi juga akan memepengaruhi kelancaran penyelenggaraan pengadilan itu sendiri oleh karena itu administrasi pengadilan dalam undang undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan penangananya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat yaitu Panitera yang merangkap Sekretaris”
Fungsi Akses kepada Publik
Pasal 64 A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang mengatur sebagai berikut:
Ayat 1: “Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.” Ayat 2: “Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.”
Fungsi Bantuan Hukum/Advokasi
Pasal 60 C Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang mengatur sebagai berikut:
Ayat 1 : “Pada setiap Pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hokum.”
Ayat 2: “Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut sampai memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Fungsi lain-lain
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur sebagai berikut:
Ayat 2: “Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud pasal 49 dan pasal 51, pengadilan dapat diserahi tugas tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan Undang Undang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar